Pernyataan
Mahfud MD kepada Perdana Mentri Jerman Angela Merkel tentang
diperbolehkannya penganut Ateis dan Komunis di Indonesia merupakan hal
yang tidak saja mengejutkan tetapi membuat shock sebagian besar
masyarakat Indonesia. Terlepas pro-kontra pernyataan ini, Mahfud MD
adalah seorang yang mengepalai Mahkamah Konstitusi, dimana institusi
tersebut sebagai salah satu lembaga peradilan yang berwenang serta
berkewajiban menjaga atau menjamin terselenggaranya konstitusionalitas
hukum.
Andaikan masyarakat Indonesia mau mengkaji kembali Undang-Undang yang
sudah ada maka kontroversi ini tidaklah perlu menjadi polemik yang
berkepanjangan. Karena pernyataan Mahfud MD secara lisan kepada Perdana
Mentri Jerman tersebut sebenarnya sudah tertuang dalam Undang-undang
yang berlaku, sebagai berikut:
Untuk opsi keberadaan ateisme bisa merujuk pada pasal 27 UUD 45
(1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya.
(2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
(2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Pasal 28 UUD 45:
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
Bahkan kebebasan untuk tidak mengisi agama pada KTP sudah diatur dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan pasal 61 ayat (2) :
Keterangan mengenai kolom agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan
tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database
Kependudukan.
Lantas bagaimana dengan orang-orang yang beraliran Komunisme?
Sebagai seorang yang mengepalai sebuah Institusi Konstitusi seharusnya
Mahfud MD menarik pernyataannya karena hal ini bertentangan dengan
Undang Undang yang berlaku sebagaimana Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 yang berbunyi:
“Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik
Indonesia Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis
Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah
Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan
Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran
Komunis/Marxisme-Leninisme dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan
seluruh ketentuan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara Republik Indonesia Nomor XXV/MPRS/1966 ini, kedepan
diberlakukan dengan berkeadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi
dan hak asasi manusia”
Seharusnya
sebagai seorang yang mengerti hukum Mahfud MD harus berhati-hati dengan
pernyataannya, karena selama Pasal XXV/1966 belum dicabut, maka
keberadaan Komunisme dan Marxisme masih terlarang. KECUALI Mahfud MD
berani mencabut TAP MPRS itu karena sudah tak sesuai dengan demokrasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar