Euforia kemenangan pasangan Cagub-Cawagub DKI Jakarta Jokowi dan Ahok
pada putaran I Pilkada DKI belum mencapai klimaksnya. Banyak pihak
percaya bahwa penghitungan sementara yang memenangkan pasangan ini
membuktikan bahwa masyarakat pemilih khususnya DKI Jakarta telah
mengalami pencerahan. Image positif yang dimiliki pasangan ini sebagai
figur pemimpin yang jujur, bersih dan mengayomi rakyatnya begitu
dirindukan masyarakat.
Ditengah hingar bingarnya kepesimisan bahwa pasangan ini akan mengalami
banyak hambatan karena selain diusung oleh partai nasionalis (baca:
kiri) merekalah satu-satunya kandidat yang merepresentasikan masyarakat
sipil dan (bahkan) kaum minoritas.
Ini merupakan sejarah baru dalam perpolitikan bangsa Indonesia ketika
masyarakat Jakarta dengan rasio jumlah penduduk muslim mencapai hampir
85% dan dikenal sebagai daerah 'hijau' dimana dalam beberapa kali
dilaksanakannya pemilu merupakan kantong suara partai-partai Islam telah
mengalami transformasi secara politis maupun ideologis.
Yang cukup mencengangkan adalah suara dari PKS partai era reformasi yang
berhaluan Islam ini telah kehilangan taji dilumbungnya sendiri
alih-alih pada pemilu 2004 partai ini memiliki suara terbanyak (24%) di
DKI namun pada pilkada kali ini pasangan kandidat yang diusung PKS
bersama dengan seorang kader dari PAN (Muhammadiyah) hanya menndapatkan
11% suara. Bahkan koalisi pasangan kandidat dari partai Islam PPP dengan
Golkar masih dibawah suara dari pasangan non-partai Faisal-Biem yang
tak mencapai 5%.
Terlepas dari jatuhnya pamor partai-partai penguasa akibat skandal
megakorupsi, menurut hemat saya perilaku pemilih masyarakat Jakarta
sudah cerdas dan kritis. Sekat-sekat primordialisme telah runtuh kontras
sekali bila kita masih mengingat tragedi kerusuhan awal reformasi 98
dimana mata dunia menyaksikan pembantaian warga minoritas tionghoa di
Jakarta. Prasangka-prasangka negatif yang sering ditujukan pada kaum
minoritas Tionghoa dan Nasrani berganti dengan keberanian menitipkan
amanah kepemimpinan dibilik suara. Sejarah juga mencatat Sjarekat Islam
pernah menitipkan wakilnya di parlemen (Volksraad) pada masa penjajahan
Kolonial Belanda kepada Henk Snevliet seorang tokoh pergerakan yang
membantu rakyat Indonesia dalam melawan penjajahan Kolonial Belanda yang
notabene tidak beragama Islam.
Angin perubahan sudah mulai berhembus dinegara ini, kekuatiran terhadap
gerakan-gerakan keagamaan radikal yang masif serta merta pupus ditangan
rakyat Jakarta sendiri. Sikap kritis masyarakat DKI tidak lagi bisa
menjadi objek adu domba yang dapat berpotensi menimbulkan konflik
horizontal.
Seiring dengan angin kebebasan yang berhembusn sejak masa reformasi
Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD pun menyemarakkannya dengan
pernyataan bahwa penganut ateisme dan komunis dapat hidup setara di
negara Pancasila ini.
Walaupun ditengah-tengah masyarakat awam pernyataan ini masih menuai
kontroversi, namun setidaknya negara melalui MK telah mengajarkan kepada
kita untuk hidup toleran. Sehingga lambat laun diharapkan nantinya
masyarakat dapat hidup berdampingan tanpa rasa curiga. Tanpa ada
undang-undang yang membatasi warga negara agar bisa saling mengenal dan
saling memahami suatu perbedaan.
Kedewasaan cara pikir masyarakat inilah yang bisa menjadi kontrol
efektif bagi jalannya pemerintahan. Ketika pemerintahan itu tidak
menjalankan amanat rakyatnya maka rakyat sendiri yang menghukumnya
dengan tidak memberikan lagi tongkat estafet kepemimpinan selanjutnya.
Bukti nyata ini dapat kita saksikan dalam pilkada DKI 2012 dimana
kekuatan rakyat bersatu memilih pemimpin baru demi masa depan Indonesia
Baru.
Mengejar Untung Besar dari Liga Champion UEFA
-
1. Liverpool vs Real Madrid 23 Oktober 2014
Ambil atas/Over 3 gol, tebak skor pada 3-1 dan 4-1 untuk kemenangan Madrid
2. RSC Anderlecht vs Arsenal 23 Okto...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar