Rabu, 18 Juli 2012

Jakarta People Power 2012

Euforia kemenangan pasangan Cagub-Cawagub DKI Jakarta Jokowi dan Ahok pada putaran I Pilkada DKI belum mencapai klimaksnya. Banyak pihak percaya bahwa penghitungan sementara yang memenangkan pasangan ini membuktikan bahwa masyarakat pemilih khususnya DKI Jakarta telah mengalami pencerahan. Image positif yang dimiliki pasangan ini sebagai figur pemimpin yang jujur, bersih dan mengayomi rakyatnya begitu dirindukan masyarakat.
Ditengah hingar bingarnya kepesimisan bahwa pasangan ini akan mengalami banyak hambatan karena selain diusung oleh partai nasionalis (baca: kiri) merekalah satu-satunya kandidat yang merepresentasikan masyarakat sipil dan (bahkan) kaum minoritas.
Ini merupakan sejarah baru dalam perpolitikan bangsa Indonesia ketika masyarakat Jakarta dengan rasio jumlah penduduk muslim mencapai hampir 85% dan dikenal sebagai daerah 'hijau' dimana dalam beberapa kali dilaksanakannya pemilu merupakan kantong suara partai-partai Islam telah mengalami transformasi secara politis maupun ideologis.
Yang cukup mencengangkan adalah suara dari PKS partai era reformasi yang berhaluan Islam ini telah kehilangan taji dilumbungnya sendiri alih-alih pada pemilu 2004 partai ini memiliki suara terbanyak (24%) di DKI namun pada pilkada kali ini pasangan kandidat yang diusung PKS bersama dengan seorang kader dari PAN (Muhammadiyah) hanya menndapatkan 11% suara. Bahkan koalisi pasangan kandidat dari partai Islam PPP dengan Golkar masih dibawah suara dari pasangan non-partai Faisal-Biem yang tak mencapai 5%.
Terlepas dari jatuhnya pamor partai-partai penguasa akibat skandal megakorupsi, menurut hemat saya perilaku pemilih masyarakat Jakarta sudah cerdas dan kritis. Sekat-sekat primordialisme telah runtuh kontras sekali bila kita masih mengingat tragedi kerusuhan awal reformasi 98 dimana mata dunia menyaksikan pembantaian warga minoritas tionghoa di Jakarta. Prasangka-prasangka negatif yang sering ditujukan pada kaum minoritas Tionghoa dan Nasrani berganti dengan keberanian menitipkan amanah kepemimpinan dibilik suara. Sejarah juga mencatat Sjarekat Islam pernah menitipkan wakilnya di parlemen (Volksraad) pada masa penjajahan Kolonial Belanda kepada Henk Snevliet seorang tokoh pergerakan yang membantu rakyat Indonesia dalam melawan penjajahan Kolonial Belanda yang notabene tidak beragama Islam.
Angin perubahan sudah mulai berhembus dinegara ini, kekuatiran terhadap gerakan-gerakan keagamaan radikal yang masif serta merta pupus ditangan rakyat Jakarta sendiri. Sikap kritis  masyarakat DKI tidak lagi bisa menjadi objek adu domba yang dapat berpotensi menimbulkan konflik horizontal.
Seiring dengan angin kebebasan yang berhembusn sejak masa reformasi Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD pun menyemarakkannya dengan pernyataan bahwa penganut ateisme dan komunis dapat hidup setara di negara Pancasila ini.
Walaupun ditengah-tengah masyarakat awam pernyataan ini masih menuai kontroversi, namun setidaknya negara melalui MK telah mengajarkan kepada kita untuk hidup toleran. Sehingga lambat laun diharapkan nantinya masyarakat dapat hidup berdampingan tanpa rasa curiga. Tanpa ada undang-undang yang membatasi warga negara agar bisa saling mengenal dan saling memahami suatu perbedaan.
Kedewasaan cara pikir masyarakat inilah yang bisa menjadi kontrol efektif bagi jalannya pemerintahan. Ketika pemerintahan itu tidak menjalankan amanat rakyatnya maka rakyat sendiri yang menghukumnya dengan tidak memberikan lagi tongkat estafet kepemimpinan selanjutnya. Bukti nyata ini dapat kita saksikan dalam pilkada DKI 2012 dimana kekuatan rakyat bersatu memilih pemimpin baru demi masa depan Indonesia Baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More