Tidak berhenti
kita mendengar berita jatuhnya korban keracunan makan yang menimpa anak-anak
sekolah. Informasi yang kerap disampaikan media massa dan pemerintah
misinformatif yang mana dari waktu ke waktu informasi beredar menjadikan zat kimia
berbahaya seolah-olah berfungsi sebagai pengawet dan atau pewarna pada bahan makanan. Padahal
Bahan Tambahan Makanan (BTM) merupakan produk legal yang sudah diatur regulasinya
oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Informasi bias dan kabur yang disampaikan oleh
media-media Nasional kita bahwa zat kimia berbahaya tersebut seperti halnya formalin atau pewarna
tekstil selalu menjadi tertuduh pada kasus mematikan ini. Padahal sebagai
contoh saja bahan kimia Formalin atau Formaldehid bukanlah BTM namun hanyalah zat kimia
desinfektan yang berfungsi membunuh kuman untuk penggunaan sterilisasi diluar
fisiologi tubuh.
Penyebutan zat
beracun ini diidentikkan sebagai bahan pengawet makanan dalam penyampaian
berita malah menjadi kontraproduktif dalam dunia komunikasi massa. Formalin
memang efektif untuk membuat makanan tahan lebih lama karena daya
antibakterinya namun berbahaya bila dikonsumsi manusia.
Fenomena ini
semakin ironi ketika
pihak pemerintah kerap menyalahkan industri-industri kecil
yang masih memakai bahan kimia berbahaya dalam produk-produk dagangannya. Para
pengusaha selalu berfikir ekonomis dalam menjalankan bisnisnya, sebab selain
produk kimia beracun ini murah tapi juga gampang didapat. Bukankah seharusnya
pemerintah membuat regulasi untuk membatasi serta mengontrol pemakaian produk
kimia berbahaya bagi nyawa manusia. Bila hal ini terus dibiarkan yang terjadi
hanyalah debat kusir dengan menyalahkan para pengusaha bebal dan nakal,
sementara informasi yang berkembang dimasyarakat tentang bahaya formalin dan
zat kimia lain semakin bias lantas resisten.
Begitu juga yang
terjadi pada zat pemanis buatan Aspartam, pemanis sintetik ini kerap digunakan
sebagai pengganti gula malah diklaim aman bagi penderita diabetes. Pemanis
buatan ini adalah hasil kombinasi dua asam amino yakni Aspartam dengan Fenilalanin makanya sering
juga disebut Fenilalanin. Perlu
dijelaskan bahwa protein merupakan makromolekul yang bagiannya disusun dari
berbagai jenis asam amino, seumpama bangunan asam amino adalah batu batanya.
Food and Drug
Administration (FDA) mengeluarkan peraturan yang sangat ketat dalam hal konsumsi
Aspartam sebagai pengobatan. Alih-alih sebagai pemanis buatan dengan daya 180
kali lebih kuat dari gula tebu, aspartam digunakan juga sebagai pengobatan. Aspartam
sangat berbahaya bila dikonsumsi oleh pengidap Fenilketonuria, yaitu sindrom
yang diderita oleh orang dengan
kelainan metabolik yang tidak memiliki suatu enzim untuk mencerna
Fenilalanin.
Karena bagi penderita Fenilkoetonuria fenilalanin tak mampu terurai dalam
metabolismenya, akibat dari itu terjadilah akumulasi fenilalanin. Selanjutnya
Fenilalanin akan menimbulkan
masalah-maslah kesehatan terutama berkaitan dengan
gangguan sistem saraf pusat, vertigo,
sakit kepala parah, sesak napas, aneurisme dan berbagai hal efek berbeda dari
masing-masing individu.
Walaupun begitu asam amino sejenis fenilalanin ini sebenarnya dibutuhkan oleh
tubuh sebagai fungsi pertumbuhan sel
otak, jadi
kekurangan fenilalanin bagi bayi atau bayi yang secara genetis tidak mampu
mengolah fenilalanin dalam metabolismenya akan mengalami retardasi
kecerdasan/rendah IQ.
Fenilalanin tidak dapat dihasilkan sendiri oleh
tubuh, sumber utama fenilalanin
berasal dari makanan berprotein tinggi seperti daging, Air
Susu Ibu, telur, ikan dan keju.
Kebutuhan gizi asam amino jenis fenilalanin bagi tubuhh
dapat tercukupi
dengan konsumsi rutin sumber makanan
berprotein tersebut. Sementara produk fenilalanin yang
disintesis secara tunggal bukanlah pilihan ideal untuk mencukupi kebutuhan jenis asam amino yang sering digunakan produsen permen ataupun
sirup mengingat efek degeneratif berbahaya bagi
kesehatan.
Ironisnya BPOM melalui Surat Kepala BPOM No.
00.05.5.1.4547 Tahun 2004 memberikan peraturan tentang penggunaan produk
Aspartam atau Fenilalanin hingga 10.000 mg/kg berat badan untuk produk permen. Ditambah lagi tidak adanya regulasi yang jelas
mengenai pencantuman komposisi produk yang mengandung aspartam/fenilalanin pada
kemasan. Umumnya pada kemasan hanya berisi informasi bahwa kandungan
fenilalanin sesuai dengan 50 mg ADI (Acceptable Daily Intake).
Sementara itu National Cancer Institute melalui
websitenya www.cancer.org merilis bahwa FDA telah menetapkan batas maksimum
konsumsi Aspartam hanya 50 mg/kg Berat Badan perhari itu setara dengan sebutir
permen yang banyak dipasaran, bahkan The European Food Safety Authority (EFSA)
merekomendasikan 10 miligram lebih rendah dari yang ditentukan FDA yaitu 40
mg/kgBB.
Dasar dosis
maksimum yang digunakan FDA maupun EFSA adalah hasil penelitian yang dilakukan
sehingga didapat nilai Acceptable Daily Intake (ADI) yaitu kemampuan tubuh
menyerap Aspartam perhari sebesar 3750 mg/kgBB untuk orang dengan bobot 75 kg.
Bisa disimpulkan
regulasi yang dihasilkan BPOM tentang pemanis buatan Aspartam atau Fenilalanin
adalah racun yang telah dilabelisasi "Halal". Layaknya sebuah drama televisi
yang dipertontonkan media, mata kita melotot ke pengusaha kecil pengguna bahan
berbahaya lantas air mata kita bercucuran menyaksikan korban berjatuhan, kemudian
pemerintah dalam hal ini BPOM hanya menutup mata demi matapencaharian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar