Selasa, 17 Februari 2015

Pemanis Sintetik Aspartam Bagai Ranjau di Balik Semak



 Tidak berhenti kita mendengar berita jatuhnya korban keracunan makan yang menimpa anak-anak sekolah. Informasi yang kerap disampaikan media massa dan pemerintah misinformatif yang mana dari waktu ke waktu informasi beredar menjadikan zat kimia berbahaya seolah-olah berfungsi sebagai pengawet dan atau pewarna pada bahan makanan. Padahal Bahan Tambahan Makanan (BTM) merupakan produk legal yang sudah diatur regulasinya oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Informasi bias dan kabur yang disampaikan oleh media-media Nasional kita bahwa zat kimia berbahaya tersebut seperti halnya formalin atau pewarna tekstil selalu menjadi tertuduh pada kasus mematikan ini. Padahal sebagai contoh saja bahan kimia Formalin atau Formaldehid bukanlah BTM namun hanyalah zat kimia desinfektan yang berfungsi membunuh kuman untuk penggunaan sterilisasi diluar fisiologi tubuh.
Penyebutan zat beracun ini diidentikkan sebagai bahan pengawet makanan dalam penyampaian berita malah menjadi kontraproduktif dalam dunia komunikasi massa. Formalin memang efektif untuk membuat makanan tahan lebih lama karena daya antibakterinya namun berbahaya bila dikonsumsi manusia.
Fenomena ini semakin ironi ketika
pihak pemerintah kerap menyalahkan industri-industri kecil yang masih memakai bahan kimia berbahaya dalam produk-produk dagangannya. Para pengusaha selalu berfikir ekonomis dalam menjalankan bisnisnya, sebab selain produk kimia beracun ini murah tapi juga gampang didapat. Bukankah seharusnya pemerintah membuat regulasi untuk membatasi serta mengontrol pemakaian produk kimia berbahaya bagi nyawa manusia. Bila hal ini terus dibiarkan yang terjadi hanyalah debat kusir dengan menyalahkan para pengusaha bebal dan nakal, sementara informasi yang berkembang dimasyarakat tentang bahaya formalin dan zat kimia lain semakin bias lantas resisten.
Begitu juga yang terjadi pada zat pemanis buatan Aspartam, pemanis sintetik ini kerap digunakan sebagai pengganti gula malah diklaim aman bagi penderita diabetes. Pemanis buatan ini adalah hasil kombinasi dua asam amino yakni Aspartam dengan Fenilalanin makanya sering juga disebut Fenilalanin. Perlu dijelaskan bahwa protein merupakan makromolekul yang bagiannya disusun dari berbagai jenis asam amino, seumpama bangunan asam amino adalah batu batanya.
Food and Drug Administration (FDA) mengeluarkan peraturan yang sangat ketat dalam hal konsumsi Aspartam sebagai pengobatan. Alih-alih sebagai pemanis buatan dengan daya 180 kali lebih kuat dari gula tebu, aspartam digunakan juga sebagai pengobatan. Aspartam sangat berbahaya bila dikonsumsi oleh pengidap Fenilketonuria, yaitu sindrom yang diderita oleh orang dengan kelainan metabolik yang tidak memiliki suatu enzim untuk mencerna Fenilalanin.
Karena bagi penderita Fenilkoetonuria fenilalanin tak mampu terurai dalam metabolismenya, akibat dari itu terjadilah akumulasi fenilalanin. Selanjutnya Fenilalanin akan menimbulkan masalah-maslah kesehatan terutama berkaitan dengan gangguan sistem saraf pusat, vertigo, sakit kepala parah, sesak napas, aneurisme dan berbagai hal efek berbeda dari masing-masing individu.
Walaupun begitu asam amino sejenis fenilalanin ini sebenarnya dibutuhkan oleh tubuh sebagai fungsi pertumbuhan sel otak, jadi kekurangan fenilalanin bagi bayi atau bayi yang secara genetis tidak mampu mengolah fenilalanin dalam metabolismenya akan mengalami retardasi kecerdasan/rendah IQ.
Fenilalanin tidak dapat dihasilkan sendiri oleh tubuh, sumber utama fenilalanin berasal dari makanan berprotein tinggi seperti daging, Air Susu Ibu, telur, ikan dan keju. Kebutuhan gizi asam amino jenis fenilalanin bagi tubuhh dapat tercukupi dengan konsumsi rutin sumber makanan berprotein tersebut. Sementara produk fenilalanin yang disintesis secara tunggal bukanlah pilihan ideal untuk mencukupi kebutuhan jenis asam amino yang sering digunakan produsen permen ataupun sirup mengingat efek degeneratif berbahaya bagi kesehatan.
Ironisnya BPOM melalui Surat Kepala BPOM No. 00.05.5.1.4547 Tahun 2004 memberikan peraturan tentang penggunaan produk Aspartam atau Fenilalanin hingga 10.000 mg/kg berat badan untuk produk permen. Ditambah lagi tidak adanya regulasi yang jelas mengenai pencantuman komposisi produk yang mengandung aspartam/fenilalanin pada kemasan. Umumnya pada kemasan hanya berisi informasi bahwa kandungan fenilalanin sesuai dengan 50 mg ADI (Acceptable Daily Intake).
Sementara itu National Cancer Institute melalui websitenya www.cancer.org merilis bahwa FDA telah menetapkan batas maksimum konsumsi Aspartam hanya 50 mg/kg Berat Badan perhari itu setara dengan sebutir permen yang banyak dipasaran, bahkan The European Food Safety Authority (EFSA) merekomendasikan 10 miligram lebih rendah dari yang ditentukan FDA yaitu 40 mg/kgBB.
Dasar dosis maksimum yang digunakan FDA maupun EFSA adalah hasil penelitian yang dilakukan sehingga didapat nilai Acceptable Daily Intake (ADI) yaitu kemampuan tubuh menyerap Aspartam perhari sebesar 3750 mg/kgBB untuk orang dengan bobot 75 kg.
Bisa disimpulkan regulasi yang dihasilkan BPOM tentang pemanis buatan Aspartam atau Fenilalanin adalah racun yang telah dilabelisasi "Halal". Layaknya sebuah drama televisi yang dipertontonkan media, mata kita melotot ke pengusaha kecil pengguna bahan berbahaya lantas air mata kita bercucuran menyaksikan korban berjatuhan, kemudian pemerintah dalam hal ini BPOM hanya menutup mata demi matapencaharian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More