Selasa, 14 Agustus 2012

Rhoma Irama Apakah Contoh Terburuk Seorang Ulama?

Gegap gempita Pilkada DKI 2012 tidak saja diwarnai oleh munculnya pasangan tak lazim dinegara Indonesia ini, Jokowi yang disebut-sebut sebagai tokoh sederhana dan Basuki sebagai pasangan cawagub dari kalangan minoritas dimana keduanya dikenal sebagai pribadi yang bersih dari dugaan korupsi. Namun sebagaimana kita mafhum oleh isue SARA yang masih sensitif dinegara ini selalu saja berhembus ditiap perhelatan demokrasi. Katakanlah pada waktu pemilu awal reformasi pada tahun 1999 dimana PDIP sebagai partai pemenang pemilu dimana telah beredar pidato Theo Syafei yang bernuansa SARA di sebuah gereja merupakan seorang purnawirawan tentara adalah petinggi partai tersebut. Isue ini tak mempan membikin rakyat Indonesia yang mayoritas muslim mengurungkan niatnya untuk tidak memilih partai yang lahir pada masa reformasi ini.



Tidak berhenti begitu saja, ketua umum partai moncong putih inipun diganjal pencalonannya sebagai presiden melalui manuver "Poros Tengah" -nya Amien Rais cs, malah para ulama gencar mengeluarkan fatwa tentang haramnya pemimpin dari kalangan perempuan.

Setelah babak itu pada pemilu 2004 ketika SBY mencalonkan diri sebagai presiden isu SARA kembali berhembus, kali ini istri sang calon presiden dirumorkan sebagai seorang nasrani karena memakai nama Kristiani. Selanjutnya pada pemilu 2009 pun bau busuk SARA ini bak seperti piala bergilir yang kini jatuh pada isteri sang calon wakil presiden Boediono yang mengatakan kalau isteri beliau beragama Katolik.

Malahan sekarang isue SARA itu kembali bergulir pada perhelatan demokrasi dalam Pilkada DKI Jakarta menimpa pasangan Jokowi-Ahok, dimana yang sedang hangat dalam pemberitaan media massa adalah isi ceramah Rhoma Irama disebuah masjid pada saat tausiah Ramadhan.

Isue SARA merupakan topik seksi yang kerap menjadi bumbu dalam tabiat demokrasi di Indonesia, sentimen agama memiliki ekspektasi menggiurkan demi meraup suara mayoritas negeri ini.

Maka itu bagi para avontirir politik akan mengupayakan berbagai upaya dan sarana untuk menggunakan isue SARA terkhusus sentimen Agama dalam mencapai tujuan-tujuan politiknya. Tak cukup ayat dan dalil digunakan, fasilitas tempat beribadah berikut simbol-simbol agama seperti ulama serta merta dilibatkan dalam modusnya.

Fenomena yang melibatkan tokoh agama dan ulama untuk memenangkan salah satu calon tertentu diyakini efektif dalam meraup suara untuk memenangkan suara pemilih. Para pelaku ini selalu memiliki pembenaran dalam melakukan modus operandinya, ayat dan dalil-dalil tertentu dimanipulasi demi menguntungkan calon yang dimaksud. Para pelaku politik itu percaya kalau ucapan tokoh agama atau ulama akan didengar masyarakat, sehingga trend ini menjadikan banyak ulama terekam dalam benak masyarakat memiliki afiliasi tertentu dalam politik negeri ini.

Yang saya ingat sejak zaman ORBA sekalipun banyak ulama yang digunakan sebagai vote getter, katakanlah Hajjah Tuti Alawiyah yang berafiliasi ke Golkar, Kiai Sejuta Ummat pernah di Golkar, namun pada era reformasi bergabung dengan PPP selanjutnya malah mendirikan PBR dan masih banyak lagi ulama-ulama yang aktif di partai politik baik berskala daerah maupun nasional.

Secara konstitusi tidak ada larangan bagi seorang ulama atau tokoh agama untuk berkiprah dalam politik, bahkan sulit rasanya mencari dalil haram menurut ajaran Islam apabila seorang ulama berpolitik. Namun bila kita mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan Muslim:

“Seburuk-buruknya ulama adalah ulama yang mengunjungi penguasa. Dan sebaik-baiknya penguasa adalah, penguasa yang mengunjungi ulama.”

Berdasarkan hadis diatas ada sebuah kisah:

Imam Malik suatu kali diminta Khalifah Harun Ar-Rasyid berkunjung ke istana untuk mengajar hadist kepadanya. Tidak hanya menolak datang, tapi ulama yang bergelar Dar Al Hijrah itu, malah meminta agar Khalifah yang datang sendiri ke rumah beliau untuk belajar. “Wahai Amirul Mukminin, ilmu itu didatangi, tidak mendatangi”, ucap Imam Malik.

Dan, akhirnya Harun Ar-Rasyid yang datang ke rumah Imam Malik untuk belajar. Demikian sikap Imam Malik, ketika berhadapan penguasa yang adil sekalipun seperti Ar-Rasyid, tetap diberlakukan sama dengan para pencari ilmu lainnya dari kalangan rakyat jelata.

Apakah ilustrasi diatas terjadi dalam dunia perpolitikan di Indonesia? yang ada adalah begitu banyaknya ulama yang selalu dimanfaatkan para penguasa dan tokoh politik untuk memuluskan langkah-langkah politik mereka.

Andai saja para ulama mau membumi dan memilih berkoalisi dengan rakyat yang notabene tertindas di negara korup ini, maka ulama bisa menjadi salah satu agen pendorong dalam perubahan peta perpolitikan tanah air. Faktanya belum ada ulama yang menjadi populer karena begitu getol membela hak-hak kaum buruh, belum ada ulama yang memperjuangkan hak-hak pedagang kaki lima yang tergusur, belum ada ulama yang dengan lantang menyerukan jihad melawan koruptor. Malah sebaliknya selalu pada even-even pemilu ulama dilibatkan untuk memenangkan calon tertentu atau ulama dijadikan marketing untuk memuluskan suatu kebijakan pemerintah. 

Padahal Muhammad sendiri bersabda: “ada dua kelompok umatku yang jika mereka baik maka akan baik seluruh umatku; dan jika mereka rusak maka akan rusak pula seluruh umatku. Mereka itu adalah para ulama dan para penguasa” (Muslim).

Jadi bagaimana dengan Bang Haji, sapaan akrab Rhoma Irama apakah beliau tergolong sebagai sebaik-baiknya ulama atau malah sebaliknya?

1 komentar:

  1. Agama merupakan alat politik yang murah meriah. Amat laku untuk negara yang kurang dewasa dan kurang cerdas. Salam

    BalasHapus

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More