Kamis, 18 Oktober 2012

JOKOWIFORIA: Dari Demam El Classico Sampai Mabuk Bombay

Sehari setelah pelantikan sebagai Gubernur DKI Jakarta priode 2012-2017 pasangan Jokowi-Basuki langsung tancap gas, sang Gubernur blusukan ke sudut-sudut kumuh Kota Jakarta sementara sang Wakil yang minoritas Tionghoa ini seperti mengambil partisi lain tugas pemerintahan daerah dengan membenahi kekumuhan birokrasi institusi yang mereka pimpin.


Media yang diindikasikan memiliki perhatian lebih kepada pasangan ini jauh hari sejak pencalonan hingga masa kampanye bahkan bagai paparazzi yang hendak memburu selebritas dengan penuh adrenalin tinggi sudah seperti humas bagi pemda DKI yang memberitakan segala gerak dan program kerja Gubernur baru ibukota negara ini.

Banyak sekali hal menarik yang membuat awak media meliput terus semua kegiatan yang dilakukan oleh pemimpin baru propinsi Betawi ini. Wakil gubernur tidak lagi menjadi jabatan ban serep ditangan pasangan Jakarta Baru ini, posisi Basuki Tjahya Purnama atau yang sering dipanggil Ahok ibarat libero di daerah pertahanan, umpan dan pasing saling mengharmoni dengan sang Gubernur yang bergerak gesit menjemput sekaligus mendrible bola permasalahan langsung dari masyarakat. Gaya tiki taka pemerintahan mereka berlangsung dengan speed tinggi mengejar program yang pernah ditawarkan pas masa kampanye sekaligus membenahi kesemrawutan warisan pemerintahan terdahulu.

Seperti pertandingan el-classico yang sayang untuk dilewatkan banyak histeria kita saksikan ketika masyarakat begitu bersemangat menerima kehadiran gubernur tatkala dia tak cuma hadir tapi benar-benar ada dihadapan rakyat yang selama ini merasa diabaikan oleh pemerintahnya.

Padahal eposide melowdramatis ini telah melewati babak yang kesekian dimana hujatan, sentimen primordialisme serta keraguan berbagai pihak telah berlangsung jauh sebelum Ahok mengenakan seragam putih-putih pada saat pelantikan sebagai Wagub DKI Jakarta.

Fenomena Jokowi-Basuki ini mirip dengan filem India Kuch Kuch Ho ta Hai yang ngeboom oleh melankolis alur ceritanya. Tak cuma itu sosok tokoh utama dalam kolosal ini adalah bintang pujaan masyarakat yang sudah begitu jijik melihat praktik hedon plus korup para pejabat. Kehilangan trust masyarakat terhadap wakil rakyat serta pejabat pemerintah yang korup membuat sosok bersih dan sederhana Jokowi-Basuki bersinar terang.

Gegap gempita ini tak cuma menggetarkan ibukota, tapi menjalar ke seluruh Indonesia bahkan dunia yang tersebar melalui media massa juga yang tak kalah heboh media sosial seperti facebook dan twitter. Padahal diatas kertas sebagaimana beberapa lembaga survey ternama dibuat tak berdaya oleh sebab menyimpang dari hasil kalkulasinya.

Oleh karena itu euforia Jokowi atau Jokowiforia bagai tarian gangnam style yang menginspirasi pilkada-pilkada lainnya. Ada pilkada di daerah lain yang menggunakan atribut kotak-kotak Jokowi-Ahok sebagai strategi pencitraannya, ada pula calon walikota yang memanjat pohon untuk mencopot spanduknya sendiri karena menganggu keindahan kota sebagaimana yang pernah Jokowi lakukan pada masa kampanye malah seperti yang dilakukan Teten Masduki aktifis penggiat antikorupsi juga latah dengan mendramatisir saweran anak jalanan sebagai dukungan untuk maju pada pilkada Jawa Barat.

Fenomena Jokowiforia benar-benar memberi pengaruh pada upaya pencintraan para pemain politik dimasa-masa ini hingga kedepan. Semoga tidak seperti Gangnam Style dimana orang-orang hanya bisa memplagiat tariannya tapi tak bisa mengubah namanya, atau seperti Filem Bombay dimana tangis dan tawa hanyalah milik penonton dibioskop yang akan hilang setelah pulang atau pula seperti pertandingan el-classico histeria dan kecewa hanya 2 kali 90 menit saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More